Catatan Perjalanan :
Dari New
Orleans Ke Kendal
6.
Jika Harus Mencari Penerbangan Tercepat Dari Tokyo
Saat di depan
petugas AA itulah, tiba-tiba muncul ide di pikiran saya, untuk
minta tolong kepada kedua orang Jepang itu agar bersedia membantu
mencarikan alternatif penerbangan tercepat menuju Jakarta, dengan
tanpa harus menginap semalam di Tokyo. Kalau saja saat itu bukan
dalam perjalanan emergency, rasanya kesempatan menginap
semalam di Tokyo akan menjadi pilihan yang cukup mengasyikkan.
Melihat betapa
pedulinya mereka terhadap persoalan saya sebagai pengguna jasa
penerbangan AA, pasti mereka mau membantu, pikir saya. Apalagi
saya punya alasan kuat bahwa saya sedang dalam perjalanan emergency
karena ibu saya meninggal dunia. Tentu saja untuk yang terakhir
ini saya sambil berakting macak melas (berlaku seolah
perlu dikasihani, dan rasanya memang begitu
..) sedramatis
mungkin.
Benar juga,
dengan cara yang sangat simpatik mereka mau membantu saya, dan
lalu meminta saya untuk menunggu sebentar. Saya begitu yakin
dengan kata-kata sebentar-nya. Salah seorang dari
mereka, seorang gadis Jepang berperawakan gemuk, segera berjalan
cepat meninggalkan saya. Benar-benar sebentar, gadis Jepang yang
saya lupa membaca label nama di dadanya itu segera kembali, lalu
menghidupkan komputer kuno-nya yang ternyata masih
berfungsi baik, pencet-pencet keyboard, lalu keluar
secarik kertas berisi alternatif penerbangan menuju Jakarta. Ini
dia yang memang saya harapkan.
Sambil menunggu
petugas AA memainkan komputernya, pandangan saya tertuju kepada
seorang ibu muda yang tadi sama bingungnya dengan saya. Saya
perhatikan si ibu tampak asyik bercakap-cakap dengan petugas
penerbangan lain.
Rupanya bukan
asyik mengobrol, melainkan karena si ibu muda itu tidak paham
bahasa Inggris, hanya bisa bahasa Spanyol. Sedangkan dua orang
petugas penerbangan yang juga orang Jepang tidak ngerti bahasa
Spanyol. Jadi tampak seru. Yang mengherankan saya, tidak tampak
sedikitpun ekspresi panik pada wajah si ibu, malah cengengesan
karena setiap kata yang mereka saling ucapkan tidak pernah
sambung.
Petugas AA telah
selesai dengan komputer kuno-nya. Lalu dikatakannya
bahwa sudah tidak ada penerbangan langsung ke Jakarta hari itu
juga. Wah! Tapi menurutnya ada alternatif, untuk malam itu juga
saya bisa terbang ke Singapura dengan Singapore Airlines (SQ) dan
akan tiba di sana jam 1:30 dini hari Selasa. Lalu esoknya jam
7:00 pagi saya bisa terbang ke Jakarta. Saran yang bagus, saya
pikir lebih baik menghabiskan waktu di Singapura karena
penerbangan menuju Jakarta dari Singapura akan lebih banyak
pilihan.
Sebagai konsumen
pengguna jasa penerbangan AA, saya diperlakukan dengan sangat
baik. Padahal setelah itu saya sudah tidak lagi menggunakan jasa
mereka, melainkan ganti dengan SQ atau Garuda. Rasanya saya harus
mengakuinya, bahwa itulah kelebihan mereka dalam me-manage
pelanggannya. Dalam hati saya berprasangka, kok yang demikian itu
jarang ada perusahaan jasa di Indonesia yang mau meniru.
Salah seorang
petugas yang laki-laki kemudian membawa saya ke counter AA
di bagian keberangkatan (saya tidak jadi meminta shore pass
untuk keluar bandara melewati imigrasi), dan lalu mempertemukan
saya dengan petugas lain di bagian tiket AA. Di bagian ini saya
menunggu agak lama.
Rupanya sang
petugas sedang bingung, padahal mestinya saya yang bingung.
Rupanya dia juga merasa berkepentingan untuk ikut bingung,
membantu saya. Rasa turut berkepentingan atas kesulitan yang
sedang dihadapi orang lain ini rasanya dijaman kini terasa sangat
mahal harganya, di jaman reformasi sekalipun.
Dia bingung
karena alternatif pertama penerbangan lanjutan ke Jakarta esok
hari dari Singapura adalah dengan Garuda Indonesia (GA),
sedangkan tiket GA ternyata tidak bisa dikeluarkan oleh pihak AA
di Tokyo, padahal tempat duduknya bisa confirm.
Alternatifnya, ada 3 penerbangan SQ pada jam-jam sesudah jadwal
GA yang tiketnya bisa dikeluarkan saat itu juga, tapi tempat
duduk berstatus stand by. Lalu agak sore ada lagi Thai
Airways (TG), yang tempat duduknya OK dan tiket juga bisa
langsung dikeluarkan.
Yang membuat dia
bingung adalah kenapa tiket GA tidak bisa dikeluarkan di Tokyo
saat itu (sebenarnya kalau mau dia tidak perlu bingung, bisa saja
dia berlaku cuek dan bilang bahwa hanya tiket SQ yang bisa
dikeluarkan, dan toh pasti saya akan percaya juga). Untuk
meyakinkan saya, sang petugas tiket AA itu pun meminta saya untuk
melongok ke layar komputernya. Dan memang di situ saya lihat ada
tulisan non ticketable. Sang petugas AA
akhirnya menyerahkan keputusan kepada saya, mau ambil tiket yang
mana, karena pihak AA hanya bisa melakukan endorsement
guna pengalihan tiket dengan harus menyebutkan nama
penerbangannya.
Ini membuat saya
harus berpikir keras, mengatur strategi agar terhindar dari
kesulitan esok harinya di Singapura. Pilihan dengan penerbangan
lanjutan apa sebaiknya tiket dikeluarkan. Dalam waktu yang
singkat, pikiran saya menguji beberapa kemungkinan yang bisa
terjadi atas beberapa alternatif penerbangan lanjutan yang
diberikan. Akhirnya saya pilih penerbangan dengan TG.
Pertimbangan saya
waktu itu adalah meskipun jadwal TG agak sore tapi tempat duduk
OK dan tiket bisa langsung dikeluarkan saat itu juga, sambil
berasumsi bahwa di Singapura saya akan melakukan jurus macak
melas yang sama seperti tadi untuk mencari peluang berangkat
dengan penerbangan lebih awal. Toh sesial-sialnya, saya
sudah pegang tiket TG untuk penerbangan sore (belakangan ketika
di Singapura saya baru menyadari bahwa pilihan dan strategi saya
ini ternyata salah).
Setelah semua
tiket sudah dikeluarkan oleh pihak AA, saya langsung check-in
untuk penerbangan SQ ke Singapura. Tiba-tiba saya baru ingat, lha
bagasi saya bagaimana?. Wong menurut labelnya bagasi
tersebut harus saya ambil dulu di Tokyo. Dengan sangat
meyakinkan, petugas AA itupun ngayem-ayemi (menenangkan
pikiran) saya bahwa soal bagasi saya tidak perlu khawatir. AA
akan mengaturnya, dan saya tinggal mengambilnya di Singapura
nanti.
Ada perasaan
ragu-ragu. Lha bagaimana tidak, wong di labelnya
sejak di New Orleans sudah jelas-jelas tertulis bahwa tujuan
akhir bagasi itu adalah Tokyo. Sementara lalu lintas penerbangan
di Narita sangat sibuk, hari sudah malam lagi. Wis embuh,
pikir saya. Pokoknya segera berangkat ke Singapura malam itu
juga, yang artinya saya berhasil mengurangi waktu tempuh
perjalanan dibanding dengan rencana sebelumnya yang harus nginap
di Tokyo.- (Bersambung).
Yusuf Iskandar